Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
denpasar, bali, Indonesia
penulis bebas nilai yang niat menulisnya tidak sejalan dengan ide menulisnya. salam kenal. aditlazu.

PARUM PARAM KEBUDAYAAN

Jumat ini BEM PM Udayana bakal ngadain acara keren yang namanya Parum-Param Kebudayaan. Acara diskusi antar tokoh budayawan dan akademisi yang dikemas sederhana ini adalah acara yang dibuat oleh menteri kebudayaan dan kajian strategis kita. Nah disini yang mau dibahas dari parum param ini adalah bagaimana sebenarnya kata “Ajeg Bali” yang sepertinya saat ini menjadi sebuah anomali artinya kata Ajeg itu sendiri bukan lagi merujuk kepada usaha atau upaya untuk memperlihatkan atau mempertahankan budaya Bali namun dewasa ini justru menjadi alasan masyarakat Bali menjadi runcing kedalam tidak runcing keluar.

        Mengapa saya pribadi memilih penggunaan kata “anomali” untuk merepresentasikan situasi dari perkataan “Ajeg” ini karena jika kita merujuk kepada kamus besar bahasa Indonesia anomali itu artinya adalah penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya, maka berangkat dari hal tersebut maka saya berani mengatakan kata ajeg sudah tidak lagi relevan digunakan saat ini.


           Alasan lebih lengkap mungkin bisa saya ceritakan pasca kegiatan ini selesai dilaksanakan. Kegiatan ini bakal kita adain hari jumat tanggal 20 Desember 2013 di lapangan parkir fakultas kedokteran jam 6 sore. Jangan lupa hadir kalo emang pingin tahu dan pingin dapet banyak ilmu. Tapi maaf kalo tempatnya terbatas. J

INI PERPUSTAKAAN APA RESTORAN CEPAT SAJI????


              Entah kenapa akhir akhir ini jadi sering main ke perpustakaan daerah, ya kali’ karna udah ga ada kesibukan kuliah atau dihatui oleh yang namanya tugas akhir ya, hehehe. Beberapa buku bacaan aku kumpulin di tangan buat di baca’ yah cuman liat dari judul doang, nanti ngeliatin isinya kalo udah di meja aja baru diseleksi, hhehehe. Tapi yang jadi inti dari cerita saya bukan lah apa yang saya baca looo, disini saya pingin cerita tentang keadaan pas lagi baca.
              Ini ke 3 kalinya dalam satu minggu ini saya kesini. 5 buku sudah kekumpul, langsung deh beranjak ke meja buat mbaca. Suasana di ruangan bisa dibilang kurang nyaman soalnya pengunjung lumayan rame, dilengkapi cuaca yang lumayan gerah, Ditambah AC di ruangan mati. Akhirnya saya duduk mengumpulkan niat dengan semangat menggebu akhirnya kebaca lah 3 halaman dari 5 buku yang saya baca, tapi apa daya ternyata buku pertama engga dapat terselesaikan dengan baik sodara sodaraaaaa, emang isi buku ga sesuai yaaaaaa sama apa yang diinginkan. Dilanjutkan dengan buku kedua, alhasil buku kedua cuman terselesaikan 2 halaman doang, cuman buat info doang itu ruangan yang 15 menit lalu ke isi sekitar 20 orang sampai saya menyelesaikan 2 halaman tadi sudah tinggal 3 orang.
              Barulah saya sadar kok ruangan ini ga nyaman banget yak, padahal saya udah mencoba senyaman mungkin disini dengan duduk anteng n pake headset dikuping biar ga keganggu, tapi kok ya tetep ga nyaman, ini mungkin ga cuman dirasain sama saya lo ya, beberapa orang yang berada di radius sekian kursi dari saya juga mengeluhkan hal yang sama tapi mereka cenderung karena ACnya yang mati aja. Karena mood udah jelek akhirnya saya memutuskan untuk menyudahi saja kegiatan saya ini. Dan satu hal yang penting juga selama saya kesini tidak pernah buku yang saya baca
              Dari sini lah saya berpikir bahwa kenapa perpustakaan yang seharusnya menjadi destinasi gaul para pelajar sudah ga bisa dibela lagi, ya karena toh kalo kita nyoba untuk ngehasut temen kita buat kongkow kesana alhasil kita ga betah sendiri akhirnya nyesel buat kesana karena, 1. Ga asik, 2. Ga gaul, 3. Ga didukung sarana prasarana yang mendukung, 4. Ga rekomended banget lah..
           Kalo sekarang mau dibandingin dengan arena kongkow lain contohnya deh di restoran cepet saji sebut saja MC*D yaaa, tau kan restoran cepet saji itu konsepnya cepet pesan cepet makan cepet pulang, tapi tetep aja pengunjungnya pada betah disana, padahal ya empunya mc*d itu udah mbuat tu restoran biar pengunjung ga betah lama lama, eh tapi tetep aja ada AC, WIFI, tempatnya asik, dll. Lah kenapa fasilitias negara bisa kalah sama tempat kayak gitu yaaa, ruangan gerah banget, pegawai pada asik sama idupnya sendiri, nyari buku juga susah banget. Yang ada malah males banget buat dateng ke perpustakaan kalo emang ga kepaksa banget. Coba aja kalo wifi kenceng, pegawainya ramaaah, nyari buku yang dimau gampang, tempat duduk nyaman, apalagi kalo ditambah diluaran ada tempat duduk yang teduh plus deket warung, beuuuuh beachwalk pindah deh kesana.
              Semoga ajaaa pemerintah ni lebih peka deh sama yang beginian, gimana remaja kita bisa asik sama negaranya kalo negaranya ga asik sama dia, kalo remaja masih pragmatis ya pendekatannya harus dikemas pragmatis juga tapi tetep harus diarahkan ke arah idealisnya. Dengan memberikan wadah buat pemudanya itu udah membantu banget kok, contoh kecilnya ya ruang ruang public dibuat asik, gabakal sulit nyari pemuda kritis.

               Ni asbun gue doang yak kalo ada yang ga sepakat monggo kita berdialog. hehehe


Bencana Ekonomi???

Pada akhir abad 20, beberapa Negara di Asia dikatakan mengalami bencana ekonomi dampaknya adalah munculnya ketidakstabilan, ketidakpastian, dan pesimisme global. Bencana apabila dikatakan sebagai kejadian yang tiba-tiba yang menyebabkan kehancuran dan kerugian materiil maupun nonmaterial, maka bencana virtual adalah bencana yang direncanakan berdasarkan scenario. Itu artinya adalah kejadiannya memang muncul secara tiba-tiba namun kejadian terebut sebenarnya sudah disusun atau sudah melalui perhitungan tertentu. Seperti contoh sederhana adalah ketika nilai mata uang dikatakan anjlok, maka kaca mata awam akan mengatakan hal tersebut adalah lumrah adanya yang mana mungkin disebabkan oleh krisis internal yang dialami oleh suatu Negara, namun itu juga merupakan hasil dari bentuk rekayasa dengan memanfaatkan momen-momen tertentu dari peluang krisis tersebut.
            Seperti yang disebut diatas tadi itu adalah yang menjadi kecurigaan dari pakar ekonomi, krisis yang terjadi di beberapa Negara di Asia Tenggara di akhir abad 20 ini terdapat beberapa intervensi peran dari para spekulan di dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Muncul pertanyaan kemudian, siapakah yang menjadi pembuat skenario yang menyebabkan terjadinya bencana tersebut. Misalkan kita sebutkan bahwa ini merupakan hasil dari konspirasi barat yang tidak senang dengan Megatrend Asia seperti sebuah skenario AS yang tidak terlalu senang dengan Asian Renaissance, ini merupakan bentuk dari pemiskinan abadi Negara berkembang.
      Konsep tentang Renaisans Asia atau Megatrend Asia yang selama ini didengung-dengungkan menggambarkan tentang kebebasan Asia dari berbagai ekonomi, dan menjadi  satu kawasan yang memiliki kekuatan raksasa yang mandiri dan dengan gaya yang khas, namun karena terdapat intervensi dari luar seperti contohnya saja IMF yang masuk pasca krisis moneter pada negara-negara yang terkena krisis melaui paket bantuan, dengan persyaratan yang sangat ketat yang pada akhirnya melahirkan ketergantungan atau melegitimasi ketergantungan ekonomi negara di Asia terhadap system kapitalisme global. Dana bantuan IMF ini justru semakin mengukuhkan ketergantungan ekonomi Asia terhadap negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat.
            Ketika persyaratan liberalisasi semakin mengetat maka secara langsung akan memperketat kembali ketergantungan negara-negara berkembang untuk dapat masuk ke dalam belenggu liberalisasi barat. Dengan memanfaatkan IMF sebagai lembaga donor dunia, negara-negara berkembang akan dimudahkan dalam mengajukan pinjaman kepada lembaga tersebut, dan IMF pun akan semakin murah hati menyuntikkan dananya dengan persyaratan yang ketat tentunya, semakin besar utang luar negeri yang selama ini justru menjadi salah satu factor utama krisis ekonomi. Karena ketika kita terbelit utang, kita justru meminjam dana segar untuk membayar utang yang sebelumnya atau istilahnya “tambal sulam”. Hal ini lah yang akhirnya akan membuat negara negara donor semakin leluasa dalam mengontrol negara negara berkembang yang sebenarnya mungkin sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai negara berkembang, namun karena kita sudah terlanjur dibentuk sebagai negara yang selalu bergantung kepada negara pendonor.
           Setelah mengetahui hal tersebut maka akan muncul hal yang mungkin menjadi kebingungan para pengambil keputusan yaitu bagaimana seharusnya strategi pembangunan pascakrisis moneter seharusnya dilakukan. Karena apabila kita tetap menggunakan strategi awal maka akan datang bencana krisis yang lebih besar lagi mengancam. Karena ketika kita hanya melakukan tambal sulam saja maka kita akan menambah paket-paket utang luar negeri kita yang artinya kita menyiapkan perangkap kita di masa mendatang.


Sumber:

Piliang, Y. A. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Matahari: Bandung.

Kebhinekaan bagi kemajuan bangsa

Oleh: Lazuardi Aditya Ramadhan,
( Wakil Presiden Mahasiswa BEM PM UNUD 2013)
               Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan yang diambil oleh Mpu Tantular dari konsep teologi Hindu yang berbunyi Bhina Ika Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mengrawa. Artinya, berbeda beda Dia, tapi satu adanya tak ada ajaran yang menduakannya. Dalam hal ini semboyan Bhineka Tunggal Ika dijadikan pedoman dari bangsa Indonesia dalam merangkul keberagaman yang terdapat di Negara kita Indonesia. Bhineka ini pun dimasukkan kedalam salah satu pilar kebangsaan yang di antaranya adalah UUD 1945, Pancasila, dan NKRI. Keempat pilar ini dilahirkan dalam rangka memajukan Indonesia yang lebih baik.
            Sejalan dengan perjalanan bangsa pasca kemerdekaan muncul factor yang menjadi penghambat dalam realisasi konsep Bhineka Tunggal Ika itu yang sering ditandai dengan seringnya Indonesia mengalami disintegrasi bengsa dengan maraknya kekerasan antara suku, konflik yang berlatarbelakang agama,dan lain sebagainya, serta menjadi sorotan dunia Internasional. Ada fakor politik, sosial, ekonomi, hukum , HAM dan kebudayaan. Namun yang paling menjadi perhatian serius oleh masyarakat adalah persoalan identitas kebangsaan dalam hal ini persoalan kebhinekaan.
          Persoalan kebhinekaan ini memang tidak akan bisa lepas dari perbincangan seluruh kalangan masyarakat karena keberagaman di Indonesia ini bukan hanya dalam bentuk cerita namun memang sebuah realita. Suku, agama, ras antar golongan ini merupakan hal nyata dari sebuah kemajemukan yang menjadi kekayaan bangsa kita. Namun dewasa ini hal yang menjadi kekayaan bangsa dan menjadi kebanggaan kita justru menjadi momok yang sering dijadikan latar belakang dari terjadinya perpecahan bangsa yang berujung kepada konflik nasional.
                Permasalahan SARA ini sudah terendus dari dahulu ketika para pendiri bangsa sudah mencoba untuk memproteksi masalah ini dengan terteranya pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945, namun pada kenyataannya di beberapa daerah terjadi intoleransi beragama yang tidak jarang menyebabkan para penganut agama tertentu mengalami diskriminasi, selain itu konflik horizontal antar daerahpun tidak dapat terelakan di beberapa kasus.
              Hal ni tentunya harus menjadi perhatian khusus bagi seluruh stake holder bangsa kita karena melihat kebhinekaan ini sebenarnya bukan merupakan alasan bagi terjadinya perpecahan sesama masyarakat namun ini diarahkan kepada bentuk daripada salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
              Jika kita menoleh lebih jauh kebelakang melihat sosok yang mengambil semboyan ini yaitu Mpu Tantular, ia merupakan penganut agama Budha, namun ia terbuka terhadap pemeluk agama lain, terutama Hindu Siwa. Artinya sebenarnya sudah sejak lama bangsa Indonesia ini mempraktikan hidup dengan menganut toleran terhadap pluralitas. Ini adalah tradisi dan sudah melekat serta menjiwai setiap anggota masyarakat. Ini pula yang menciptakan keberagaman yang rukun dan sudah sangat mengakar pada bangsa Indonesia.
            Mantapnya kebhinekaan Indonesia dan kuatnya perekat kesatuan negara kita tersebut hanya dapat dicapai dengan mematangkan pendidikan multikultur yang ideal melalui design kebhinekaan yang mengintergrasikan seluruh aspek pendidikan nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup manusia dalam masyarakat Indonesia yang multikultur.
            Sistem pendidikan saat ini dianggap kurang dalam mensosialisasikan nilai-nilai seperti humanis, sehingga masih belum membentuk paradigma manusia yang mampu memahami paradigma multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi seperti contohnya distorsi agama yang kerap dijadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama.
            Melihat hal diatas maka sebagai penerus sekaligus tulang punggung bangsa, generasi muda diharapkan mampu menanamkan semangat toleransi pluralisme, dan penghargaan antar kelompok agar tetap lestari dan menjadi dasar kehidupan berbangsa. Persepsi generasi muda tentang persoalan kebangsaan, pluralitas dan kepemimpinan nasional sangatlah penting dalam rangka mengeksplorasi opini dan sikap publik tentang kebhinekaan di Indonesia.

            Saat ini sangat diperlukan adanya kelompok-kelompok yang diisi oleh anak muda dalam upaya membangun toleransi keberagaman dan mendorong semangat kebhinekaan. Pengalaman kehidupan sehari-hari para pelajar Indonesia serta gagasan-gagasan yang dimiliki oleh generasi muda harus mulai di tanam, dipupuk, dan di sirami. Karena saat ini melihat pelatihan atau seminar- seminar yang arahnya kepada semangat kebhinekaan yang diadakan oleh orang-orang tua dapat dikatakan hanya sebagai seremonial atau formalitas saja, maka dari itu semangat yang dimiliki oleh intelektual muda yang idialismenya dapat diadu mungkin harus mulai mendominasi untuk mengisi semangat multikultur ini. Karena dengan memperluas wacana kebhinekaan di kalangan anak muda, dalam jangka panjang diharapkan dapat terbangun secara luas pengejawantahan kebhinekaan Indonesia.


Tenggelamnya Pulau Bali!!!


Oleh: Lazuardi Aditya Ramadhan,
( Wakil Presiden Mahasiswa BEM PM UNUD 2013)

Hai oya hayo Kembalikan Bali ku padaku (2x), Laut nan menderu, Gunung nan membiru, Tanah pusakaku, Berawan kelabu… (potongan lirik lagu kembalikan Baliku – Guruh Sukarno Putra)
            Pulau Bali merupakan pulau yang menjadi primadona wisatawan untuk datang berkunjung ke Indonesia. Berkat buku yang ditulis oleh Miguel Cavarubias, yang terbit pada tahun 1937 yang berjudul, The Island of Bali membuat pulau kecil yang kurang terjamah saat itu menjadi mulai dilirik oleh pengunjung atau wisatawan baik domestic maupun asing. Dalam buku tersebut dibangun pula citra bali yang spesifik dan mampu mengundang minat wisatawan untuk berkunjung. Atas jasa jasanya, kemudian Bali dikenal dengan puja puji sebagai the island of God, the thousand of temples, the last paradise of the world, visit Bali before you die, dan lain lain.
Sejak tahun 1970 pulau bali mulai digandrungi oleh wisatawan mancanegara mulai lancer dan bahkan mulai sulit untuk dikendalikan dengan tidak terkendalinya para investor mulai masuk kedalam pembangunan di Bali dengan dalil untuk memajukan Bali yang ditunjuk sebagai tujuan pariwisata. Namun saat ini ketika investor masuk terlalu dalam di sector pembangunan bali baik infrastruktur, maupun aksesbilitas, Bali mulai merasakan munculnya kegelisahan social.
Munculnya hipotesa seperti itu bukan tanpa alasan atau hanya sekedar asumsi dari segelintir pihak saja, karena hal seperti yang disebut diatas itu saat ini merupakan masalah yang benar benar sedang dihadapkan oleh masyarakat Bali ketika mereka merasa sudah tidak lagi memiliki ciri khas, tidak memiliki kepribadian lagi, yang disebabkan karakter mereka harus rela di beli oleh pemilik modal tertinggi yaitu investor, maka tidak salah lagi ketika dikatakan pariwisata Bali akhir-akhir ini menjadi pariwisata yang kapitalis dengan semakin tinggi tingkat masuknya budaya asing dan tergerusnya budaya local.
Sederhana saja, saat ini sangat sedikit wisatawan yang dapat melihat sawah yang terhampar luas, semakin jarangnya bangunan berarsitektur Bali berdiri kokoh karena mereka digerus oleh bangunan-bangunan tinggi, dan hotel-hotel yang sudah bertebaran di kota kota besar, bahkan di daerah pedesaan pun persawahan mulai tergantikan oleh villa villa yang dibangun berdalih meningkatkan sarana-prasarana yang bertujuan untuk mendukung pariwisata Bali. Padahal apabila kita lebih peka saat ini lebih banyak sekali dampak negative yang kita dapatkan daripada dampak positif yang dijanjikan atau dielu-elukan.
Tingkat kunjungan wisatawan Bali saat ini memang masih tinggi namun beberapa peneliti mengatakan bahwa presentase  peningkatannya justru menurun seiring waktu (demishing return), serta tingkat lama tinggal wisatawan di Bali juga sudah menurun drastis dari yang sebelumnya paling sebentar adalah sekitar 2 minggu, saat ini wisatawan hanya betah sampai jumlah harian saja. Gejala tersebut menunjukkan bahwa wisatawan mulai tidak betah atau tidak nyaman lagi untuk tinggal berlama-lama di Bali. Banyaknya keluhan mengenai keadaan pulau Bali sebagi sentra pariwisata budaya sudah mulai memudar. Ketika dulu wisatawan yang datang ke Bali untuk menikmati budaya local, mereka akan tinggal di pedesaan dalam waktu yang lama demi mendapatkan sensasi yang luar biasa ketika mereka melihat upacara, system subak, sangkep, tari-tarian dan alam tentunya. Namun saat ini banyak wisatawan yang merasa ketika mereka datang ke Bali tidak jauh berbeda lagi ketika mereka liburan di negaranya.
Selain hal tersebut saat ini juga Bali sudah mulai mengalami banyaknya masalah masalah seperti, kemacetan, kriminalitas, PSM, intrusi air laut yang sudah meleleh, sempadan sempadan yang sudah dijarah, serta ketidaknyamanan lain yang tidak hanya dirasakan oleh wisatawan saja namun masyarakat Balipun juga mengalaminya. Hal tersebut tidak akan terjadi ketika daya dukung Bali tidak terlampau jauh seperti saat ini, ketika menurut peneliti asal Prancis yang sejak tahun 1985 menyatakan bahwa Bali hanya memerlukan 24.000 kamar hotel, sampai saat ini justru lebih dari 80.000 kamar hotel sudah berdiri tegak belum termasuk hotel-hotel yang sedang dibangun saat ini. Seharusnya pemda tidak termakan oleh besaran PAD, APBD, dan PDRB, dengan pemerintah mengeluarkan moratorium untuk pembangunan yang berkelebihan ini justru pemerintah akan dijadikan sebagai pahlawan bagi pulau Bali.
Jika diajak untuk berbicara tentang pemerintah, sebenarnya pemerintah seharusnya bisa jeli melihat apa sebenarnya permainan para investor di dalamnya, ketika para investor masuk ke dalam proyek pembangunan yang terus mengatakan demi memajukan Bali, peningkatan ini akan sejalan dengan meningkatnya pula nilai pajak bagi pembangunan yang akhirnya membuat masyarakat kecil seperti petani akan tidak kuat lagi menjalani hidup sebagai petani, sehingga mereka akan menjual lahan mereka kepada para investor yang kemudian akan kembali melakukan pembangunan yang sebenarnya hanya akan menguntungkan pihaknya saja, seperti itu memang praktik dari kapitalisme yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terinjak.
Muncul kemudian pikiran yang menanyakan apakah sebenarnya masih layak pulau Bali ini menjadi daerah tujuan wisata? Ketika para wisatawan yang sebenarnya datang ke Bali menginginkan hal yang dahulu kala mereka dapatkan disini yakni ke orisinilan Bali tetapi saat ini mereka tidak dapatkan. Maka mereka akan lebih berfikir untuk mengunjungi destinasi lain yang dapat memuaskan hasrat mereka. Pembangunan seharusnya tidak lagi difokuskan ke pulau Bali saja tetapi lebih kepada destinasi lain yang lebih membutuhkan seperti daerah timur yang kurang terjamah, yang justru disana mulai tinggi tingkat ketertarikan dari wisatawan untuk berekreasi.
Sehingga diharapkan akan mampu mengurangi tingkat kecemburuan sosial ketika saat ini mereka berpikir bahwa pembangunan hanya dilakukan di pulau Jawa dan Bali saja tanpa melihat potensi potensi lain di daerah lain. Selain itu akan mengurangi jumlah migrasi yang tingkatannya di Bali sudah termasuk tinggi yang ini juga termasuk salah satu penyebab dari tingginya aksi kriminalitas di Bali karena tingginya tingkat stress disini.

Sehingga ujung dari tulisan ini adalah bertujuan untuk menyadarkan masyarakat Bali terhadap pembangunan yang hanya menguntungkan pihak investor saja agar di stop, walaupun efek yang ditakutkan adalah berkurangnya jumlah wisatawan disini sebenarnya hal itu baik ketika hasilnya justru mampu menjaga kearifan budaya local disini dan tidak melupakan aspek komersialnya. Karena ketika kita memberikan kesan berbeda di Bali dengan hanya menyajikan wisata bertema budaya maka wisatawan akan terus berfikir ciri khas atau karakter pulau Bali ini adalah budayanya yang tidak bisa mereka dapatkan di daerahnya atau daerah daerah tujuan wisata lain, sehingga tingkat kunjungan mereka ke Bali tidak mungkin menurun dan bahkan lama tinggal mereka akan panjang sehingga hal tersebut tentu akan sangat menguntungkan bagi masyarakat Bali seutuhnya. Dengan cara itu besar kemungkinan eksistensi Bali tetap tinggi tanpa harus dipegang oleh tangan asing.

MELAWAN "SENGKUNI"


Sudah kurang lebih seminggu ini BEM PM UNUD disibukin sama aktivitas baru. Bukan hari raya bukan jalan jalan, tapi sibuk mengawal pilrek. Sebenernya saya pun merasa aneh nih sama kesibukan kita disini, bukan aneh gimana tapi agak bingung aja sama keadaan yang melanda kampusku tercinta ini. Kenapa apa yang kita inginkan selalu saja terpatahkan, toh keinginan kita bukan mbakar kampus kan?

Pemilihan Rektor memang sudah di setting sejak lama bung, dengan pemilihnya adalah 65% suara senat universitas dan 35% suara menteri pendidikan (tolong ralat jika salah) jelas mahasiswa disini tidak punya hak memilih, tetapi ketika disini posisi mahasiswa adalah merupakan bagian dari civitas akademika di Universitas Udayana ya sudah jelas punya hak dalam memberikan suara terkait siapa yang akan menjadi stakeholder dari universitas ini.

Berlatar belakang dari hal tersebutlah akhirnya kita dari BEM PM berinisiatif untuk mencari formulasi untuk tau atau mengenali calon pemimpin tertinggi mereka nanti akhirnya dirancanglah suatu formulasi baru dalam bentuk debat kandidat rektor, dengan menyiapkan panelis yang fungsinya adalah menyampaikan permasalahan permasalahan yang ada di Universitas Udayana, panelis itu dibagi tiga komponen yaitu: akademisi, alumni, dan mahasiswa, yang mana mereka akan mempertanyakan permasalahan yang mereka hadapi dari masing masing pandangan yang tentunya sudah dibagikan kategorinya.

TAPIIIII,,, ide gemilang kita ternyata tidak disambut baik oleh panitia pemilihan rektor ini dengan alasan ketakutan ketakutan akan adanya saling singgung dan lain sebagainya akhirnya kami dari mahasiswa setelah beberapa kali melakukan rasionalisasi dan konsolidasi baik dengan panitia maupun dengan rektor yang masih menjabat tetap tidak bisa menghasilkan apa yang kita inginkan, kitapun tegas mengambil sikap bahwa harus tetap bergerak dengan konsep kita.

Membangun kawan kawan di basis fakultas kita lakukan, menghubungi pers pers kampus dan pers masyarakat juga kita lakoni,untuk bisa mewujudkan cita cita kami. Dan halangan terbesar adalah ketika kami menemui 3 calon, ternyata ketiga calon tersebut sudah terlebih dahulu diberikan surat oleh para panitia pemilihan rektor yang menghimbau mereka untuk tidak melakukan sosialisasi diluar dari yang dibuat oleh panitia pilrek tersebut

SIALL!!!

Tapi satu hal yang menjadi dasar dari pergerakan kami, ketika sesuatu sudah kita lakukan dengan totalitas tidak akan ada yang namanya sia-sia. Maka kamipun tetap terus bergerak bak pandawa yang terus berjuang melawan kebengisan dan kelicikan sengkuni yang mengendalikan kurawa. Tapi jelas harapan kita disini adalah akhir dari cerita perang kita ini adalah Pandawa bisa tertawa terbahak bahak di halaman akhir. Hahaha, 



Semoga debat kandidat kita tanggal 1 April 2013  pukul 14.00 WITA yang berlokasi di auditorium Widya Sabha bisa terlaksana, amin. mohon doa dan dukungan teman teman! 

ini nih orang orangnya!!!



"KAMPUNG YANG GA KAMPUNGAN"



Keren tuh kata kata yang saya dapetin dari salah seorang pemuda desa yang saya temuin di Desa terpencil di Gianyar namanya Desa Taro Br. Alas Pujung.
Jadi gini nih ceritanya kenapa saya dapet tuh kata kata dan kenapa itu juga membekas banget di ni kuping,, waktu itu (lupa kapan waktu tepatnya) seperti biasa ya tiap hari sabtu kita di BEM PM UNUD pasti berkunjung ke desa dampingan kita yang lokasinya seperti tertera diatas tadi. Nah tanpa babibu lagi akhirnya kita ketemu nih sama pemuda disana yang namanya sebut saja bli Joni, beliau memang salah satu sekaa truna truni di Banjar Alas Pujung.
Pertemuan kita bertemakan permasalahan dan solusi masyarakat kampung (ni tema buatan saya sendiri aja sih buat pelengkap ni tulisan doing) nah abis cerita banyak banget terkait apa apa aja yang jadi permasalahan di kampung tersebut yang salah satunya itu ada di sampein bahwa permasalahan di desa ini adalah pengetahuan pemudanya minim banget jadi disana cenderung kayak katak dalam tempurung, jadi pergerakan mereka ya cuman di seputaran desa itu aja sedikit yang bisa atau mau bergerak lebih luas lagi, padahal kalo boleh jujur ya itu desa potensinya besar banget dari mulai sumber daya alam sampe ke sumber daya manusianya itu bisa dibilang udah top banget deh, sumber daya alam nya kaya banget, orang orangnya seniman patung, kehidupan materinya ga bisa dibilang kekurangan pokoknya.
Tetapi yang menjadi ganjalan di hati kita nih ya atau yang sering anak gaul sebut sebagai “miris” atau “ironis” banget itu adalah kesadaran mereka untuk menimba ilmu lebih luas dan lebih tinggi lagi. Mereka rata rata cuman lulusan smp, dari data yang di dapet cuman ada 2 orang aja sekarang yang sedang sekolah di bangku SMA (data dari bli Joni), waduh bukan gmana ya tapi ini yang membuat kita di BEM PM sedang memutar otak buat nyari formulasi terkini terkait problematika ini.
Nah mungkin temen temen pembaca nanyak ya, kenapa kok kita keliatan sok care gitu?, jadi ya kita pure banget pingin memajukan strata disana itu karna ya takut aja gitu kekayaan alam dan sumber daya disitu ga bisa digunakan dengan baik gitu sama masyarakatnya karna bisa dibilang pendidikan formal mereka yang kurang, karena bli Joni sendiri yang bilang bahwa sebenernya pingin banget ngajak temen temen disini ini keluar daerah biar mereka tau gimana sih keadaan diluar sana supaya pikiran mereka bisa terbuka gitu ga cuman berkutat disini sini aja, lulus smp udah aja di sawah tok, ga ada kegiatan yaudah nikah jadinya, nah loh,,, ditambah lagi ya katanya bli Joni juga, dia termasuk satu cowok paling tua yang belum nikah (padahal umurnya baru 25an).
Jadi setelah kita liat liat sekeliling dan ngrobol ngrobol sama bli joni akhirnya dapet ditarik benang merah deh kalo kita tu harus mencari jalan gmana caranya membuat minat pemuda disini untuk belajar ataupun mencari pengetahuan yang lebih supaya levelnya ga ketinggalan jauh lah sama perkotaan karna ya emang sangat jauh banget keliatannya perbedaannya, gitu sih yang bli joni bilang ke kita “yah harapan kita disini kan supaya biarpun kita orang dari kampung tapi pemikirannya ga kampungan”. Ashek!!! Hhahaha