sengketa spratly..
Perebutan Kepulauan Spartly
Kepulauan Spratly merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di Laut Cina Selatan. Kepulauan Spratly menurut Dieter Heinzig dibatasi 4° LU dan 109° BT ke arah Barat Laut antara 11° 31’ LU dan 117° BT. Kepulauan ini dibatasi oleh wilayah perairan dari beberapa negara yaitu: Philipina, Vietnam, Indonesia dan Malaysia. Kepulauan ini terletak kurang lebih 1.100 Km dari pelabuhan Yu Lin (P.Hainan) RRC dan 500 Km dari pantai Kalimantan bagian Utara. Karena letaknya yang strategis bagi pelayaran internasioanal dan menyimpan kekayaan alam yang melimpah, kepulauan ini diperebutkan oleh beberapa negara yaitu Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei dan Malaysia.
Perebutan Kepulauan Spartly tidak hanya sebatas mengklaim saja, namun Negara-negara sudah jauh melakukan kependudukan di Kepulauan Spartly seperti mengibarkan bendera, membangun bangunan-bangunan, stasiun penelitian yang seharusnya sudah berada dibawah mandate organisasi internasional mengeluarkan undang-undang, menggabungkan pulau-pulau dengan provinsi berdekatan, menerbitkan peta-peta baru, menerbitkan dokumen-dokumen sejarah yang berkaitan dengan dasar tuntutan, mengizinkan turis dan jurnalis berkunjung ke pulau-pulau “mereka”, memberikan konsensi minyak kepada perusahaan asing di wilayah sengketa, dan menempatkan pasukan militer.
Faktor ekonomis dan strategis lah yang menjadi penyebab adanya konflik disini. Dimana Kepulauan Spartly memiliki banyak sumber daya lain seperti perikanannya yang berlimpah, pangan, dan mineral pula. Dan yang paling penting ialah Kepulauan Spartly menyimpan sediment minyak yang berlimpah yang dapat mengurangi tingkat ketergantungan minyak.
Dan secara geografis, Kep. Spartly juga memiliki lokasi yang strategis untuk menjaga keamanan beberapa wilayah Negara. Seperti contoh RRC yang menganggap kawasan laut Cina Selatan selalu sangat penting untuk menjaga keamanan wilayahnya.
Namun tentu saja pasti ada upaya-upaya untuk meredakan konflik ini. Kasus sengketa di wilayah Laut Cina Selatan ini akan menjadi sebuah sumber konflik yang potensial di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara jika tidak ada pihak yang berinisiatif untuk mencegah terjadinya konflik terbuka di kawasan ini. Indonesia sebagai salah satu negara yang terletak di sebelah selatan Laut Cina Selatan berupaya untuk meredam konflik ini. Indonesia berpendapat bahwa instabilitas di kawasan erpeluang menggoncangkan keutuhan internal ASEAN, hal ini terkait dengan adanya empat negara ASEAN yang mengklaim, yakni Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Jika keempat negara tersebut tetap bersikukuh untuk saling mengakui Kepulauan Spratly, maka keutuhan ASEAN pun akan dipertanyakan oleh dunia luar, apakah ASEAN sebagai salah satu organisasi regional di kawasan Asia Tenggara masih eksis atau tidak.
Peran Indonesia dalam menyelesaikan sengketa ini ditunjukkan melalui pembentukan perundingan diantara negara-negara yang bersengketa. Hal ini diwujudkan dalam South China Sea Informal Meetings, yang diadakan tiap tahun. Dalam pertemuan yang digagas pertama kali pada tahun 1990 ini, dihasilkan beberapa keputusan. Keputusan tersebut diantaranya adalah pembentukan kelompok kerja yang bertugas untuk mengkaji sumber daya yang terkadung di Kepulauan Spratly, kesepakatan tentang pelayaran, penagkapan ikan, dan juga komukasi yang legal di kawasan ini. Signifikansi dari kelompok kerja yang disepakati dalam pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa untuk mendirikan sebuah wilayah politik untuk bekerja sama dan berhubungan satu sama lain, walaupun sengketa masih terdapat diantara negara-negara tersebut. Selain itu, Confidence Building Measures (CBMs) juga menjadi bagan penting dalam agenda pertemuan tersebut.
Dialog ini dilakukan sebagai langkah awal menangani masalah kedaulatan yang sangat sensitif. Semangat diplomasi preventif terefleksi dari semakin tingginya kesadaran negara-negara sekitar untuk melihat masalah ini dari kacamata positif. Serangkaian dialog ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi masalah yang lebih detail guna mencari celah-celah kerjasama yang bisa dibangun termasuk isu kedaulatan atas Kepulauan Spratly, peran negara besar dalam kepentingannya atas wilayah ini dan Confidence Building Measures (CBMs) untuk me-manage potensi konflik secara damai dan bijaksana.
Upaya yang dilakukan oleh Indonesia lainnya adalah upaya pembentukan kerjasama. Proyek kerjasama yang berhasil disepakati antara lain adalah proyek kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati. Dalam proyek ini, Indonesia tetap memegang kendali kepemimpinan, mengkomunikasikan hasil-hasil dialog kepada dunia internasional, organisasi regional dan internasional demi mendapatkan dukungan dan bantuannya untuk mengimplementasikan proyek kerjasama ini.
Penggunaan mekanisme diplomasi preventif cukup signifikan pengaruhnya dalam penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Pihak pemerintah negara-negara yang mengklaim semakin menyadari efek konfrontasi militer berdampak buruk bagi semua pihak dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan konflik tersebut juga terlalu besar.
Kekuatanconfidence- building, pertemuanwor ks hop termasuk pembahasan isu ini dalam forum resmi ASEAN sangat terasa ketika negara yang mengklaim berusaha menahan diri untuk tidak terlibat lagi dalam aksi saling menduduki daerah (melakukan okupasi fisik). Pengaruh signifikan diplomasi preventif yang dijalankan Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. mencegah negara-negara yang mengklaim untuk tidak meneruskan atau memperluas klaimnya. Kesadaran ini mencegah terjadinya konflik bersenjata yang saat itu makin memanas dalam usaha perebutan kepemilikan gugus-gugus kepulauan. Kesepakatan yang dihasilkan menjadi rekomendasi untuk tidak menyelesaikan masalah dengan jalan kekerasan.
2. menumbuhkan semangat kerjasama bilateral dan regional resmi dengan mengesampingkan masalah kedaulatan teritorial. Selain itu, dialog ini berhasil membangun visi kerjasama di bidang keamanan, politik, navigasi, manajemen sumber daya alam, perlindungan lingkungan dan riset ilmiah kelautan serta mekanismenya atau “norms-building”.
3. memperkuat usaha-usaha diplomatik resmi dalam kerangka regional untuk menciptakan stabilitas di kawasan. Melalui forum ini, Indonesia mengemban peran terdepan sehingga masalah ini menjadi isu yang dibahas dalam forum yang lebih besar yaitu ARF (ASEAN Regional Forum) dan ASEAN Post-Ministerial Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik untuk mencari jalan penyelesaian.
4. terciptanya code of conduct antar negara yang bersengketa.Norms-building ini penting untuk mengatur usaha-usaha kerjasama yang dilakukan.
Ditengah kritik tajam akan efektivitasworkshop in dalam mencegah konflik terbuka, second track diplomacy prakarsa Indonesia ini sangat besar artinya bagi terciptanya kesadaran dan political will negara-negara yang mengklaim kepemilikan pulau-pulau di Laut Cina Selatan, untuk duduk bersama –secara resmi- menemukan jalan keluar yang bisa diterima masing-masing pihak bersengketa. Indonesia diakui dunia internasional menjadi pihak aktif dalam mencari celah kemungkinan kerjasama dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan tidak hanya bagi negara di sekitarnya, tapi juga bagi negara di kawasan regional dan internasional.
Sumber:
(7 April 2009) http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 24 Februari 2011
(16 Oktober 2010) http://tabailenge.wordpress.com/2010/10/16/geopolitik-kepulauan-spratly-konflik-kembali-menegang/. Diakses pada 24 Februari 2011
(June 13, 2009) http://johanesjudiono.wordpress.com/2009/06/13/hello-world/. Diakses pada 24 Februari 2011
(April 1, 2009) http://coretcoretkuliah.wordpress.com/category/strategic-issues/page/3/. Diakses pada 24 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar