Bencana Ekonomi???
Pada
akhir abad 20, beberapa Negara di Asia dikatakan mengalami bencana ekonomi
dampaknya adalah munculnya ketidakstabilan, ketidakpastian, dan pesimisme
global. Bencana apabila dikatakan sebagai kejadian yang tiba-tiba yang
menyebabkan kehancuran dan kerugian materiil maupun nonmaterial, maka bencana
virtual adalah bencana yang direncanakan berdasarkan scenario. Itu artinya
adalah kejadiannya memang muncul secara tiba-tiba namun kejadian terebut
sebenarnya sudah disusun atau sudah melalui perhitungan tertentu. Seperti
contoh sederhana adalah ketika nilai mata uang dikatakan anjlok, maka kaca mata
awam akan mengatakan hal tersebut adalah lumrah adanya yang mana mungkin
disebabkan oleh krisis internal yang dialami oleh suatu Negara, namun itu juga
merupakan hasil dari bentuk rekayasa dengan memanfaatkan momen-momen tertentu
dari peluang krisis tersebut.
Seperti yang disebut diatas tadi itu
adalah yang menjadi kecurigaan dari pakar ekonomi, krisis yang terjadi di
beberapa Negara di Asia Tenggara di akhir abad 20 ini terdapat beberapa intervensi
peran dari para spekulan di dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Muncul
pertanyaan kemudian, siapakah yang menjadi pembuat skenario yang menyebabkan
terjadinya bencana tersebut. Misalkan kita sebutkan bahwa ini merupakan hasil
dari konspirasi barat yang tidak senang dengan Megatrend Asia seperti sebuah skenario AS yang tidak terlalu senang
dengan Asian Renaissance, ini
merupakan bentuk dari pemiskinan abadi Negara berkembang.
Konsep tentang Renaisans Asia atau
Megatrend Asia yang selama ini didengung-dengungkan menggambarkan tentang
kebebasan Asia dari berbagai ekonomi, dan menjadi satu kawasan yang memiliki kekuatan raksasa
yang mandiri dan dengan gaya yang khas, namun karena terdapat intervensi dari
luar seperti contohnya saja IMF yang masuk pasca krisis moneter pada
negara-negara yang terkena krisis melaui paket bantuan, dengan persyaratan yang
sangat ketat yang pada akhirnya melahirkan ketergantungan atau melegitimasi
ketergantungan ekonomi negara di Asia terhadap system kapitalisme global. Dana
bantuan IMF ini justru semakin mengukuhkan ketergantungan ekonomi Asia terhadap
negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat.
Ketika persyaratan liberalisasi
semakin mengetat maka secara langsung akan memperketat kembali ketergantungan
negara-negara berkembang untuk dapat masuk ke dalam belenggu liberalisasi
barat. Dengan memanfaatkan IMF sebagai lembaga donor dunia, negara-negara
berkembang akan dimudahkan dalam mengajukan pinjaman kepada lembaga tersebut,
dan IMF pun akan semakin murah hati menyuntikkan dananya dengan persyaratan
yang ketat tentunya, semakin besar utang luar negeri yang selama ini justru
menjadi salah satu factor utama krisis ekonomi. Karena ketika kita terbelit
utang, kita justru meminjam dana segar untuk membayar utang yang sebelumnya
atau istilahnya “tambal sulam”. Hal ini lah yang akhirnya akan membuat negara
negara donor semakin leluasa dalam mengontrol negara negara berkembang yang
sebenarnya mungkin sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai negara berkembang,
namun karena kita sudah terlanjur dibentuk sebagai negara yang selalu
bergantung kepada negara pendonor.
Setelah mengetahui hal tersebut maka
akan muncul hal yang mungkin menjadi kebingungan para pengambil keputusan yaitu
bagaimana seharusnya strategi pembangunan pascakrisis moneter seharusnya
dilakukan. Karena apabila kita tetap menggunakan strategi awal maka akan datang
bencana krisis yang lebih besar lagi mengancam. Karena ketika kita hanya
melakukan tambal sulam saja maka kita akan menambah paket-paket utang luar
negeri kita yang artinya kita menyiapkan perangkap kita di masa mendatang.
Sumber:
Piliang,
Y. A. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Matahari: Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar